Meskipun dalam penanggalan hijriyah sudah berusia 112 tahun, dalam perhitungan miladiyah –penanggalan matahari- saat ini umur Muhammadiyah mencapai angka 109 tahun sejak didirikan pada 18 Nopember 1912. Empat belas (14) tahun lebih tua dibanding saudara mudanya, Nahdlatul Ulama.
Sejak awal keberadaannya, persyarikatan yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini memiliki corak platform modernis. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh bergurunya beliau kepada para ulama pembaharu Islam, seperti Sayyid Bakri Syatha, Syaikh Ahmad Khatib, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ibnu Taimiyah, Al-Afghani, Syaikh Abdul Hadi, dan tokoh-tokoh lainnya, ketika beliau tinggal di Mekkah selama 5 tahun.
Sepulang dari Mekkah, saat pemuda kelahiran 1 Agustus 1868 ini berusia 20 tahun, merasakan kegelisahan yang cukup mendalam karena melihat masyarakat muslim di Kauman cenderung bersifat Islam tradisionalis yang belum bisa memisahkan antara ajaran dan yang bukan. Berbagai praktik adat atau tradisi kejawen sangat berdampak pada penerapan agama Islam.
Ahmad Dahlan yang terlahir di lingkungan keraton dengan nama Muhammad Darwis adalah anak keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta. Siti Aminah ibunya, merupakan puteri dari H. Ibrahim, penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu. Jadi beliau memang sudah terbiasa dengan lingkungan religius-kejawen.
Tidak sekedar menyaksikan dari kejauhan adanya praktik tradisi seperti ziarah kubur yang menyimpang, selamatan, bahkan perayaan sekaten yang diwarnai ritual-ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Tahun 1903 beliau berangkat haji untuk kedua kalinya, dan memutuskan tinggal di Mekah selama dua tahun untuk melanjutkan belajar. Pada kesempatan ini Ahmad Dahlan berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib yang juga merupakan guru dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
Visi beliau untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur mistis kejawen, tidak berhenti sebatas teori tetapi diperjuangkan dengan resiko besar yang menghadang, mulai dituduh sebagai pembawa ajaran Islam varian baru, dianggap sesat bahkan dikafir-kafirkan.
Semangat inilah yang menjiwai para kader Muhammadiyah hingga saat ini, dengan memukul genderang dakwah kultural. Tradisi Jawa adalah produk budaya yang bisa jadi terbaik pada saat kemunculannya. Karena merupakan hasil cipta, rasa dan karsa yang tentu saja dipengaruhi oleh nilai yang berlaku saat itu. Sehingga sebenarnya sangat dibatasi oleh ruang dan waktu. Tradisi atau budaya bukan barang mati yang harus diberlakukan secara rigid.
Muhammadiyah sangat mengapresiasi kemampuan para leluhur dalam mengekspresikan kompetensinya sesuai bidang yang ditekuni. Tetapi persyarikatan ini tidak membabi buta dengan menganggap semua yang dihasilkan menjadi tatanan nilai yang wajib diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak boleh diselisihi agar dianggap menjadi bagian dari orang Jawa.
Menurut Din Syamsudin, Islam dan kejawaan menjadi entitas tunggal. Dan Muhammadiyah adalah Islam varian Jawa yang paling otentik. Muhammadiyah sangat mendekati budaya Jawa. Bahkan pada Muktamar di Solo tahun 1929, seruan memakai pakaian tradisional masuk dalam aturan bagi peserta.
Hanya saja bagi Muhammadiyah, Jawa sebagai sistem ideologi atau isme ditolak, tapi sebagai budaya diterima. Kata KH. Ahmad Dahlan, mereka harus memelihara adat yang baik dan merevisi atau membuang adat yang buruk.
Orang-orang Muhammadiyah berziarah kubur tetapi terbatas untuk mengingat kematian dan mendoakan ahli kubur atau maksimal mengenang sisi baiknya agar bisa diteladani. Tetapi sama sekali tidak membenarkan praktek minta-minta pada ahli kubur yang dianggap hebat semasa hidupnya meskipun sekedar menjadikannya wasilah dan sejenisnya.
Pengikut Muhammadiyah juga senantiasa mendoakan keluarga dan sauadara yang telah meninggal tetapi tidak larut dengan berbagai bentuk ritual selamatan kematian yang harus ‘dihitung njlimet’ periodesasinya meskipun dibungkus dengan dzikir wirid ke-Islaman.
Sejak awal kemunculannya hingga kini luwes memakai beskap lengkap dengan kerisnya, tetapi menolak pengagungan keris sebagai benda mistis yang diagung-agungkan memiliki kekuatan supra natural apalagi diwarnai macam-macam sesaji.
Muhammadiyah kadang memilih momen waktu untuk berkegiatan, memanfaatkan hari dan pasaran tetapi tidak akan pernah terjebak mencela hari dengan perhitungan naga dina, hari sial, waktu naas dan sebagainya berdasarkan ramalan perbintangan, kitab mujarabat dan sejenisnya.
Juga akrab dengan alam dan berkomitmen menjaga keseimbangan ekosistem (lingkungan) baik daratan maupun lautan tetapi menolak ritual sedekah laut, sedekah gunung, merti desa jika harus diekspresikan dengan berbagai bentuk persembahan kepala kerbau dan berbagai sesaji sejenis meskipun dibalut tujuan syukuran.
Muhammadiyah juga mengakomodasi nasi tumpeng sebagai khasanah budaya tetapi tidak terjebak menganggapnya sebagai syarat yang harus dipenuhi sehingga tidak berani menyuguhkannya jika tidak dilengkapi kedelai hitam, ulam sari, suruh ayu dan sebagainya.
Kader-kader Muhammadiyah sangat menghormati kearifan lokal, tetapi berpikir realistis dan memang tidak mau menukar aqidah-nya hanya karena ingin dianggap orang yang arif dan bijaksana, karena sebenarnya justru mendorong mereka yang awam kepada pemahaman sempit dan cenderung mempertahankan budaya secara radikal.
Justru merupakan bentuk tanggung jawab sebagai orang Jawa, Muhammadiyah berusaha meluruskan keyakinan yang salah atau terlanjur salah karena dalam mengangkangi budaya bulat-bulat sebagai isme yang tidak menerima kritik dari luar. Karena Muhammadiyah tahu betul tidak akan ‘kelangan jawane’ dengan menolak ritual-ritual warisan animisme dan dinamisme.
Platform berpikir yang demikian memang berpotensi dianggap tidak njawani oleh mereka yang berpikiran sempit, tetapi realitanya Ahmad Dahlan mamapu menembus batas-batas interaksi sosial yang kecil kemungkinan dapat dilakukan oleh pemeluk Islam suku Jawa pada saat itu. Muhammadiyah telah berhasil melaksanakan ‘tapa ngeli’ yang sebenarnya, ora ilang Jawane nanging tetep maju pikirane, dan membanggakan.
‘Kesalahannya’ Muhammadiyah tidak mau berteriak-teriak bahwa ia bukan hanya dibangun di lingkungan kejawaan yang kental tetapi juga arif menjaga tradisi Jawa dari anasir-anasir yang berpotensi menyesatkan sehingga mampu menembus batas ‘nut jaman kelakone’. Inilah kelemahan yang pertama.
Warisan frame of reference yang dibangun Ahmad dahlan membuat Muhammadiyah beberapa langkah lebih maju dibanding yang lain dalam banyak hal terutama di bidang sosial pendidikan.
Hingga Desember 2020 Muhammadiyah tercatat telah memiliki 163 Universitas, 23 ribu PAUD dan TK, 356 pondok pesantren, 364 rumah sakit/klinik, 1.826 SD/MI, 1.407 MA/SMA/SMK, 384 panti asuhan dan ribuan amal usaha lain.
Sesuai tema yang diusung pada milad tahun ini “Optimis Hadapi Covid-19: Menebar Nilai Utama”. Pada masa pandemi Muhammadiyah telah menggelontorkan dana lebih dari 1 trilliun, dengan 32,3 juta jiwa penerima manfaat. Melayani 53.155 pasien, menyantuni 44.000 siswa. Memiliki 75.000 relawan, 2.396 dokter, 7.225 perawat, 117 unit rumah sakit dan 1.841 ranjang covid-19.
Betapa besar konstribusi Muhammadiyah mengisi kekosongan dan melengkapi beberapa kewajiban pemerintah terhadap rakyat Indonesia yang belum sempurna diaplikasikan. Ia tidak mau menjadi benalu yang membebani anggaran negara untuk menghidupkan organisasinya.
Nilai-nilai luhur Pancasila diejawantahkan dalam perilaku institusi dengan berpartisipasi aktif memberikan solusi berbagai problematika bangsa. Menjauhi segala bentuk kekerasan dan mengedepankan cara-cara konstitusional yang elegan dan menampakkan tingginya tingkat transparansi.
‘Kesalahannya’ Muhammadiyah tidak mau lantang menyuarakan bahwa ia adalah pembela ke-Indonesiaan yang toleran, moderat dan sangat pancasialis. Dan itulah kelemahan keduanya.
Selamat milad ke 109 Muhammadiyah, baktimu pada negeri benar-benar menginspirasi…!
Sumber tulisan dari grup WA PRM Tamansari dengan judul asli dari tulisan adalah DUA KELEMAHAN MUHAMMADIYAH
Oleh : Sugiyanto Harman
Posting Komentar