Penulis : Rizal Ramdani
Mahasiswa S3 University of Eastern Finland, Finlandia
Helsinki, 14 Maret 2021
Hari ini IMM memasuki usianya yang ke 57. Usia yang cukup matang untuk organisasi pergerakan mahasiswa di Indonesia. Telah melalui tiga periode perubahan politik. Lahir di masa transisi demokrasi terpimpin, berkembang dan berproses di masa orde baru, dan menjadi bagian dari perubahan orde reformasi.
Sampai hari ini, saya masih kadang gelisah memikirkan IMM.
Misalkan, dari perjalanan saya menyaksikan masyarakat eropa, perubahan teknologi yang mempengarhui cara hidup manusia, dan tolak-tarik narasi politik yang berkembang di Indonesia, apakah perkaderan, attitudes, values, cita-cita dan keyakinan IMM masih relevan dan masih bisa bertahan dalam arus perubahan tersebut? Apakah materi DAD, DAM, dan DAP termasuk system pengelolaan ketiga jenjang perkaderan tersebut masih relevan seperti itu?
Masih relevankah kader membaca buku-buku karya M. Amin Rais semisal Tauhid Sosial; Koentowijoyo semisal Paradigma Islam, Muslim Tanpa Masjid, Islam sebagai Ilmu; Aly Syariati semisal Tugas Intelektual Muslim, Cita-cita masyarakat Islam; dan buku-buku Nurcholis Madjid, Edwrard Said, Hasan Hanafi, Ali Asghar Engineer, Arkoun, dan Aljabbiri? Ataukah di sana masih banyak sumber-sumber bacaan baru yang lebih relevan di dalam memahmi dan melakukan kritik terhadap nalar arab lama dan membaca masyarakat Islam? Atau, masihkan perlu kita melakukan kritik terhadap nalar Arab lama, padahal kita tidak pernah belajar usul fiqih, mustolahul hadits, dan ulumul qur'an dan lalu dengan seenaknya loncat meminjam tradisi hermeneutika dan ilmu-ilmu sosial kritis?
Masih relevankan kita meminjam cara pandang tentang ontology dan epistemology dari Mullah Shadra dan karya-karya Sayid Murtdha Mutahhari? Ataukah cara pandang ini justru akan menutup kita dari keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan yang berbasis empiris? Masih relevankah kita melakukan perlawanan-perlawan politik itu melalui demonstrasi dan mengajarkannya ke kader-kader baru? Bukankah change.org, tiktok, youtube, dan sosial media lainnya telah merubah arena ruang public dan ruang sosial? Masihkah kita bangga menulis arikel lepas di media massa? Bukankah sekarang website-website begitu menjamur, menampung semua tulisan dengan tanpa proses editorial dan seleksi yang benar?.
Masihkah kita berbangga mendorong kader untuk menulis buku-buku tebal, padahal pembaca buku sudah pindah ke bacaan-bacaan ringkas di smart phone mereka? Puisi, cerpen dan novel sudah kurang dihargai, diskusi-diskusi dan cermah panjang digantikan oleh potongan-potongan video Instagram WhatsApp yang hanya berdurasi 30 detik. Bagaimana mempertahankan nahkoda IMM dalam arus perubahan ini?
IMM adalah asset besar bagi kita persyarikatan Muhammadiyah dan bangsa Indonesia. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kader-kader IMM yang pernah aktiv berproses di Komisariat, Cabang, dan apalagi DPD dan DPP itu telah banyak berkiprah memajukan persyarikatan dan berkontribusi untuk bangsa. IMM kita harus terus bertahan, berkembang, berdinamika dan berinovasi. Saya yakin IMM kita akan terus abadi.
Selama perkaderan terus dilakukan tak pernah henti. Senang rasanya, beberapa waktu lalu mendapat kiriman photo, DPP IMM telah mengadakan Latihan Instruktur Paripurna (LIP). Semoga kegelisahan ini menjadi bagian dari apa yang akan dilakukan instruktur-instruktur baru paripurna tersebut. Selamat milad IMM, dari saya, dan kedua anak saya; Davia Malaeka Ramdani dan Joensuu Jarir Athabari.
Posting Komentar